Arsip | Oase Iman RSS for this section

Belajar Dari Umar Bin Khattab


Umar-Bin-KhattabDikisahkan bahwa seorang dari pedalaman Arab datang ingin menghadap Umar bin Khattab. orang itu berharap Umar akan memberikan nasehat dan jalan keluar atas persoalan rumah tangga yang tengah dihadapinya.sebagai suami ia merasa sudah tidak punya harga diri .selalu saja menjadi objek omelan dan tajamnya lidah sang Istri.

Hingga sampai dimuka pintu rumah khalifah Umar,pria itu ragu dan berdiri didepan pintu menunggu Umar keluar,sebab ia mendengar istri Umar bersuara keras pada suaminya dan membantahnya sedangkan Umar diam tidak membalas ucapan istrinya.

Pria itu lalu berbalik hendak pergi,sambil berkata “Jika begini keadaan Umar dengan sifat keras dan tegasnya dan ia seorang amirul mukminin,maka bagaimana dengan keadaanku..?”

Umar keluar dan ia melihat orang itu hendak berbalik dan pergi dari pintu rumahnya seraya memanggil pria itu dan berkata “Apa keperluanmu wahai pria ?”

Wahai Amirul Mukminin semula aku datang hendak mengadukan kejelekan akhlak istriku dan sikapnya yang membantahku. Lalu aku mendengar istrimu berbuat demikian, maka akupun kembali sambil berkata, ”Jika demikian keadaan Amirul Mukminin bersama istrinya,maka bagaimana dengan keadaanku?”

Wahai saudaraku..sesungguhnya aku bersabar atas sikapnya itu karena hak-haknya padaku demikian kata Umar.

“Dia yang memasakkan makananku, yang mencucikan pakaianku, yang menyusui anak-anaku dan hatiku tenang dengannya dari perkara yang haram. Karena itu aku bersabar atas sikapnya”lanjut Umar.

“Jawaban Umar membuat pria tercenung kemudian berkata :”Wahai Amirul Mukminin,demikian pula istriku” karena itu,bersabarlah atas sikapnya wahai saudaraku…” Umar lalu menasehatinya.

Gagahnya Umar bin Khattab tiada yang menyangkal, demikian pula ketegasannya dalam bersikap.tapi sikap Umar terhadap istri begitu lembut dan penuh keteladanan bagi para suami.

Gagahnya umar tiada yang menyangkal,demikian pula ketegasanya dalam bersikap. tapi kisah Umar terhadap wanita istri yang dibacanya membuatnya seperti laki-laki yang belum mengenal pasangan hidup bahkan dirinya sendiri.

Wahai suami yang penyayang, Ketahuilah tinggalnya seorang istri dirumah tidak memberikan kesempatan beristirahat dan menikmati ketenangan, karena di sisinya ada anak-anak yang harus diasuhnya dan dididiknya agar mereka tumbuh dengan baik. Semua itu membutuhkan kesungguhan diri. hati dan jasmani darinya yang lebih besar dari kesungguhan yang harus anda curahkan di kantormu atau di ladang kerjamu.

Andai anda bergantian tugas dengannya, anda tidak akan mampu mengembannya walau hanya sesaat disiang hari.

Sujarwo

Sumber : http://cimanggu.wordpress.com/2010/08/28/belajar-dari-umar-bin-khattab/#more-578

Nabi Muhammad SAW. bersabda,

“Barang siapa yang bertambah ilmunya namun tiada bertambah amalnya Tiada bertambah baginya dengan Allah kecuali bertambah jauh “ (HR. Dailami dari Ali).

Nabi Muhammad SAW. juga bersabda,

“Orang yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat ialah seorang alim yang Allah menjadikan ilmunya tidak bermanfaat.”  (HR. Al Baihaqi)

Wallahu a’lam bish-shawabi… (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya…
dan untuk semua pembaca pada umumnya…
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini…
Itu hanyalah dari kami…
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan…

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan… Amin
Wassalam

(http://pribadimanfaat.blogspot.com/2013/09/belajar-dari-umar-bin-khattab.html)

Apa Saja Penyebab Gempa Menurut Rasulullah saw


Diceritakan oleh Abu Huraerah ra., Bersabda Rasulullah SAW, :

Dimana sudah terjadi uang pajak negara merupakan harta yang berjatuhan berhamburan (barangkali maksudnya: siapa saja yang memungutnya, dialah yang memakannya).
Dimana amanat sudah merupakan harta ghanimah (barangkali maksudnya, siapa saja yang menerima amanat untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, namun dia sendirilah yang memakannya).
Dimana pembayaran zakat seperti yang harus dilakukan dengan sitaan (mungkin, karena sulitnya, para hartawan tidak mengerti kewajibannya) .
Dimana orang sangat giat menuntut ilmu bukan untuk kepentingan agama
Dimana suami sudah tunduk dikomando oleh istrinya
Dimana sudah terjadi orang lebih dekat dan akrab dengan kawan-kawannya tetapi tidak terhadap ibunya dan bapaknya
Dimana sudah terjadi tiada kekhidmatan di dalam mesjid
Dimana sudah terjadi yang diangkat sebagai pemimpin kabilah (golongan/bangsa) , sesungguhnya adalah orang-orang fasik di golongan mereka (mungkin maksudnya, tidak loyal kepada golongan/masyarakat /bangsanya)
Dimana sudah terjadi orang-orang yang diangkat menjadi pemimpin kaum (bangsa) yang imannya lemah
Dimana sudah terjadi seseorang dihormat oleh orang banyak hanya karena takut akan kejahatannya
Dimana sudah terjadi para ahli seni suara (biduan-biduanita), sangat ditonjolkan dan dimuliakan
Dimana sudah terjadi bidang-bidang hiburan sangat diutamakan
Dimana sudah terjadi minuman keras dilazimkan
Dimana sudah terjadi segala kesalahan dan kegagalan dilemparkan dan ditimpakan kepada generasi yang mendahuluinya
Dimana itu semua sudah terjadi, maka tunggulah :
Akan datang kepadamu angin merah (mungkin;taufan, kebakaran, penyakit, hama tanaman atau peperangan)

AKAN BANYAK GEMPA

AKAN TERJADI BANYAK TANAH LONGSOR

Akan banyak hal-hal yang akan merubah roman muka manusia lebih buruk dari semula

Akan banyak hujan batu (mungkin karena gunung meletus atau bom karena perang)

Dan akan terus diikuti berturut-turut dengan hal-hal lainnya, bagaikan kalung mutiara yang putus talinya

Sumber: HR. Tirmidzi – Dalam Kitab Duratun-Nashihin : 158

Beginilah Musuh Islam, dan Beginilah Umat Islam



Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,

Ibu Guru berjilbab rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, “Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!” Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.

Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”. Dan permainan diulang kembali. Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.

“Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya.

Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika.”

“Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Guru kepada murid-muridnya. “Paham Bu Guru”

“Baik permainan kedua,” Ibu Guru melanjutkan. “Bu Guru ada Qur’an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu “dijaga” sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?” Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil.

Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet. “Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”

“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.”

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?” tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang…”

Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.

***

Ini semua adalah fenomena Ghazwu lFikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Allah berfirman dalam surat At Taubah yang artinya: “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedang Allah tidak mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir itu benci akan hal itu.” (9:32).

Musuh-musuh Islam berupaya dengan kata-kata yang membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat umumnya, khususnya generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.

Maka tampak dari luar masih Muslim, padahal internal dalam jiwa ummat, khususnya generasi muda sesungguhnya sudah ibarat poteng (tapai singkong, peuyeum). Maka rasakan dan pikirkanlah itu dan ingatlah bahwa dunia ini hanya persinggahan sementara, ingatlah akan Hari Pengadilan. WaLlahu a’lamu bishshawab.

Sebab Doa Tidak Dikabulkan


Dikisahkan bahwa suatu hari, Ibrahim bin Ad-ham melintas di pasar Bashrah, lalu org2 berkumpul mengerumuninya seraya berkata, “Wahai Abu Ishaq, apa sebab kami selalu berdoa namun tdk pernah dikabulkan.?” Ia menjawab, “Krn hati kalian telah mati oleh 10 hal: Kalian mengenal ALLAH tetapi tdk menunaikan hak-NYA. 2. Kalian mengaku cinta Rasulullah SAW tetapi meninggalkan sunnahnya. 3. Kalian membaca al-Qur’an tetapi tdk mengamalkannya. 4. Kalian memakan nikmat2 ALLAH SWT tetapi tdk pernah pandai mensyukurinya. 5. Kalian mengatakan bahwa syaithan itu adalah musuh kalian tetapi senang mendengar mengikuti bisikannya. 6. Kalian katakan bahwa surga itu adalah haq (benar adanya) tetapi tdk pernah beramal u menggapainya. 7. Kalian katakan bahwa neraka itu adalah haq (benar adanya) tetapi tdk mau lari darinya. 8. Kalian katakan bahwa kematian itu adalah haq (benar adanya) tetapi tdk pernah menyiapkan diri untuknya. 9. Kalian bangun dari tidur lantas sibuk memperbincangkan aib org lain tetapi lupa dg aib sendiri. 10. Kalian kubur org2 yg meninggal dunia di kalangan kalian tetapi tdk pernah mengambil pelajarani dari mereka”. (Mi’ah Qishshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundi, Juz.II, hal.94).

Buah Dari Tauhid


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Tahun ibarat pohon. Bulan ibarat cabangnya. Hari ibarat rantingnya. Jam ibarat daunnya. Nafas ibarat buahnya. Barangsiapa yang hela nafasnya untuk ketaatan pada Allah, maka hasil dari pohonnya adalah buah yang baik. Barangsiapa yang hela nafasnya untuk maksiat, maka buahnya adalah hanzholah (buah yang pahit). Setiap orang akan memetik buah dari hasil usahanya pada hari kiamat nanti. Ketika dipetik barulah akan ia rasakan manakah buah (hasil) yang manis dan manakah yang pahit.

Ketahuilah bahwa ikhlas dan tauhid akan menumbuhkan tanaman dalam hati, memunculkan cabang dalam amalan dan menghasilkan buah kehidupan yang baik di dunia dan kenikmatan yang abadi di akhirat. Sebagaimana pula buah di surga tidak mungkin seseorang terhalang untuk memperolehnya, begitu pula dengan buah dari ikhlas dan tauhid di dunia.

Sedangkan syirik, perbuatan dusta dan riya’ akan menumbuhkan tanaman dalam hati dan menghasilkan buah di dunia berupa rasa takut, khawatir, sedih, sempitnya hati dan kelamnya hati. Sedangkan di akhirat ia akan merasakan makanan yang tidak menyenangkan dan adzab yang pedih.

Inilah dua pohon yang dimisalkan Allah dalam surat Ibrahim.” –Demikian faedah berharga dari Ibnul Qayyim-

Surat Ibrahim yang dimaksudkan oleh Ibnul Qayyim adalah pada ayat berikut:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26)

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 24-26)

Semoga Allah memberikan kita buah terbaik dari hasil amalan kita yang selalu ikhlas dan mentauhidkan-Nya.

Mengapakah Kita Tak Pandai Bersyukur


Oleh : Ummu Shofi

Pagi hari, seperti biasa aku mengawali kegiatan dengan bebenah rumah. Cuci piring, menyapu lantai, cuci pakaian dan setumpuk pekerjaan rutin lainnya. Untuk menemaniku bekerja, kuambil sekeping kaset nasyid anak-anak, kumasukkan ke dalam tape recorder yang sudah butut, dan… klik:

Ajarilah, aku ya Allah
Mengenali, karunia-Mu
Begitu banyak yang, Kau beri
Begitu sedikit yang, kusadari
Ajarilah, aku ya Allah
Berterima kasih, pada-Mu
Supaya aku dapat slalu
Mensyukuri nikmat-Mu

Sayup-sayup kudengar alunan sebuah lagu, mengalun merdu dari bibir-bibir mungil anak-anak yang kira-kira masih berusia balita. Hatikupun bergetar, air mata menetes membasahi pipi, menyadari betapa pelitnya diri ini mengucap syukur atas segala karunia yang telah dilimpahkan oleh-Nya. Serta-merta, bibir ini berucap,”astaghfirullahal ‘adziim” seraya menghapus air mata. Sejurus kemudian hati ini berbicara, mencoba mengurai satu-persatu nikmat yang telah terkecap.

Di pagi yang cerah, ketika sinar mentari menghangati tubuh, sungguh ada sebuah nikmat yang begitu indah terasa. Lalu, ketika kupandangi tubuh ini satu demi satu masih tetap utuh seperti sedia kala, mata yang mampu melihat dengan sempurna, tangan yang mampu memegang dan mengerjakan berbagai aktivitas, kaki yang bisa melangkah, kulit yang mampu merasakan sentuhan angin yang lembut, dan hidung yang mampu menghirup udara segar. Sungguh, inipun merupakan nikmat yang begitu besar. Semakin lama kucoba mengurainya, semakin banyak nikmat yang kurasa.

Demikian banyak, dan teramat banyak hingga aku tak mampu menghitung satu persatu, karena memang tak terhingga jumlahnya. Persis seperti yang Allah kabarkan dalam firman-Nya: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim:31) Astaghfirullahal ‘adziim, lidahkupun menjadi kelu, tak sanggup lebih banyak berucap.

Segalanya Allah anugerahkan kepada diri ini dengan cuma-cuma. Tak serupiahpun Allah menetapkan tarifnya, tak secuilpun Allah mengharap imbalannya. Namun mengapakah aku tak pandai bersyukur? Padahal Allah SWT berjanji : “…la in syakartum la aziidannakum, wala in kafartum inna ‘adzaabi lasyadiid (Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih)”.

Dan janji Allah selalu benar adanya, tak pernah salah dan tak pernah lupa.
Akupun mencoba merenung, apakah gerangan yang membuat diri ini tak pandai bersyukur? Dalam pandangan masyarakat umum yang kufahami selama ini, segala sesuatu dianggap sebuah nikmat adalah ketika kita memperoleh sesuatu yang menyenangkan. Harta yang banyak, rumah yang indah, teman yang selalu setuju dan menyokong pendapat kita, sehingga kita dapat memenuhi segala keinginan yang ada dengan segala fasilitas yang mudah didapat tanpa harus bersusah payah bekerja.

Seringkali pula kita tidak menyadari bahwa, mata yang mampu melihat secara sempurna ini adalah nikmat, tangan yang mampu memegang dan melakukan segala aktivitas adalah nikmat, kaki yang mampu melangkah adalah nikmat, kesehatan kita adalah nikmat, oksigen yang melimpah ruah dan bebas kita hirup adalah nikmat, hidayah Islam yang mengalir dalam diri kita ini adalah nikmat yang teramat mahal harganya, kasih sayang orang tua yang mampu mengalahkan segalanya demi membimbing dan membesarkan kita adalah nikmat, dan entah berapa banyak kenikmatan yang lain yang tidak kita sadari. Padahal, kenikmatan yang Allah karuniakan kepada kita tak terhingga banyaknya. Masya Allah, astaghfirullahal ‘adziim, semoga Allah berkenan mengampuni kita dan membimbing kita menjadi hamba-hamba yang pandai bersyukur.

Berikutnya, seringkali kita merasa iri dengan kesenangan/kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain. Ketika kita melihat orang lain bahagia, bukannya kita ikut bersyukur atas kebahagiaannya. Sebaliknya, kita justru mencibirkan bibir dan menuduh yang tidak-tidak. Membuat berbagai analisa, darimanakah gerangan mereka memperoleh kesenangan. Berprasangka buruk dan menyebarkan bermacam berita, sehingga perilaku tersebut. Menjauhkan diri kita dari rasa syukur kepada Allah. Astaghfirullah wa na’udzubillahi min dzaalik.

Tak jarang pula, dalam diri kita terjangkit penyakit “wahn (terlalu cinta dunia, dan takut mati)”, hanya kesenangan dan kesenangan yang ingin kita raih, tak sedikitpun ingin merasakan sebuah penderitaan. Sehingga ketika Allah berkenan memberikan sebuah cobaan, diri kita tak sanggup menanggung. Merasa diri menjadi orang yang paling sengsara di dunia, dan bahkan ada yang sampai berani menghujat dan menghakimi Allah sebagai penguasa yang tidak adil. Na’udzubillaahi min dzaalik, astaghfirullahal’adziim.

Disisi lain, Allah jua yang berkenan menciptakan kita sebagai makhluk yang senang berkeluh kesah. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.”(QS. Al Maariij: 19-21). Bila sifat ini tidak kita kelola dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan bila pada akhirnya diri ini tumbuh menjadi makhluk yang tak pernah mampu bersyukur.

Karenanya, amat baiklah sekiranya kita mampu melatih diri, mensyukuri apa saja yang ada pada diri kita. Apapun yang Allah berikan kepada kita, haruslah kita yakini bahwa itulah pilihan terbaik yang Allah kehendaki. Tak perlu iri dan dengki terhadap nikmat orang lain, hingga kita mampu menjadi seorang mu’min seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW: “Amat mengherankan terhadap urusan mu’min, seandainya baik hal itu tidak terdapat kecuali pada orang mu’min. Bila ditimpa musibah ia bersabar, dan bila diberi nikmat ia bersyukur” (HR. Muslim).

Terakhir, marilah senantiasa mengamalkan do’a Nabi Sulaiman as. dalam kehidupan kita. Agar kita senantiasa terbimbing, memperoleh ilham dari Allah SWT, sehingga kita menjadi makhluk yang pandai bersyukur pada-Nya.

“Robbi awzi’nii an asykuroo ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa’alaa waalidayya wa an a’mala shoolihan tardhoohu wa ad khilnaa birohmatika fii ‘ibaadikashshoolihiin”.

“Ya Robb kami, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada dua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” (QS. An Naml : 19). Aamiin.

Wallaahu a’lam bishshowwab.

Pelajaran dari Shalat Berjamaah, Mengikuti Pemimpin Selama Benar


EraMuslim.com Sahabat Anas berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw shalat bersama kami. Setelah selesai shalat kemudian beliau menghadap kami seraya bersabda :

“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imammu. Karena itu janganlah kamu mendahuluiku ketika ruku’, ketika berdiri, dan ketika menyelesaikan shalat. Sebab aku mengetahui apa yang kamu lakukan, baik didepanku maupun dibelakangku.” Selanjutnya Rasulullah bersabda :”Demi dzat yang diri Muhammad berada dalam kekuasaanNya, seandainya kamu bisa melihat apa yang aku lihat, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis berurai air mata.” Lalu para sahabat bertanya :” Wahai Rasulullah, apa yang engkau lihat ?” Jawab Rasulullah :”Aku melihat sorga dan neraka.” (HR Muslim).

Dari hadits tersebut, dalam shalat berjama’ah, makmum shalat harus mengikuti dan tidak boleh mendahului imam, dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Demikian juga bagi makmum yang terlambat (masbuq), ia harus mengikuti imam sampai imam salam, baru kemudian melanjutkan shalatnya untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal.

Ketentuan mengikuti imam hanya selama bacaan dan gerakan imam benar. Jika imam keliru, makmum wajib menegur imam dengan bacaan subhanallah (bagi laki-laki) dan memberi isyarat dengan bertepuk tangan (bagi wanita) agar shalat tidak sia-sia, dan imam wajib memperhatikan teguran tersebut. Jika tidak, atau membuat kesalahan fatal, maka makmum berhak memisahkan diri. Oleh karena itu, untuk menjadi imam, tidak boleh sembarang orang.

Seorang imam shalat, bukan hanya yang banyak hafalan bacaan Qur’an saja, tetapi yang memiliki ketinggian ilmu (agama), memahami dan mampu melaksanakan Qur’an dan Sunnah, berakhlak mulia sehingga disukai makmumnya dan bisa pegang amanah (berdasarkan hadits-hadits riwayat Muslim dari Abu Masna, Abu Dawud dari Abu Amer ibn Ash, Ahmad dalam risalah ash shalah, dan Bukhari dari Abi Hurairah).

Ada satu lagi sebagai syarat menjadi imam yaitu bukan sebagai tamu, kecuali atas keikhlasan permintaan para makmumnya untuk mengimami mereka (HR Muslim dari Ibnu Mas’ud).

Sebagai suatu tarbiyah tentang kepemimpinan dalam shalat berjamaah dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dengan berdasarkan firman Allah :

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri (pemimpin) dari kamu,” (QS An Nisaa’59)

Kata athii’u hanya didepan Allah dan Rasul tetapi tidak untuk ulil amri, menunjukkan bahwa ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi karena kebenarannya tidak perlu diragukan lagi. Berbeda dengan ketaatan kepada ulil amri yang notabene manusia biasa yang tak pernah lepas dari kesalahan, identik dengan ketaatan kepada imam shalat dalam shalat berjamaah, sebagaimana juga ditegaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya :

“Seorang muslim harus taat dan mendengar (pemimpinnya) dalam hal apa saja yang ia senangi atau tidak, kecuali jika pemimpin itu menyuruh yang tidak benar (melanggar aturan Allah dan RasulNya). Jika demikian, maka ia tidak boleh taat dan mendengar lagi pemimpin itu.” (HR Muslim dari Ibnu Umar).

Nana Djumhana

Sadar Bahwa Kita Sedang Di Peringati


Oleh Saryelsyifa

“Innalillahi wa innalillahi raji’un…” Itulah yang terucap saat mendengar kabar duka bahwa Bapak Triyono, teman ayahku yang bisa dibilang cukup berjasa bagiku meninggal dunia. Beliau transplantasi ginjal dan karena satu dan lain hal dinyatakan gagal dan mengalami pendarahan berat. Menurut dokter yang ikut mengoperasinya yang waktu itu mengajar di kelasku, beliau meninggal akibat pendarahan hebat tersebut. Sungguh menyedihkan. Namun duka hanya boleh sampai 3 hari. Jangan berlarut-larut. Dan yang terpenting adalah bahwa kita yang masih hidup sadar bahwa kita sedang diperingati.

Pernah ada riwayat yang mengisahkan bahwa pada suatu waktu, malaikat maut mendatangi seorang nabi. Nabi tersebut meminta pada malaikat maut agar saat ajalnya akan tiba, ia diperingati terlebih dahulu sebelum malaikat maut mencabut nyawanya. Malaikatmautpun menyanggupi permintaan beliau. Waktu berlalu, dan malaikat maut kembali lagi untuk mencabut nyawa nabi.

“Bukankah engkau akan memperingati aku terlebih dahulu sebelum engkau mencabut nyawaku?” Tanya nabi terkejut dengan kedatangan malaikat maut yang tak diduga.

“Bukankah sudah aku peringati berkali-kali dengan kematian orang-orang disekitarmu? Tetangga-tetanggamu yang meninggal, sanak saudaramu yang meninggal, itu semua adalah peringatan bagimu, tapi engaku tidak menyadarinya..”

Teringatlah dengan sebuah buku yang disusun oleh teman-teman FULDFK (Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran) yang berjudul “Berkawan dengan malaikat maut”. Dari judulnya saja kita bisa menarik kesimpulan bahwa profesi dokter sangat akrab dengan kematian. Artinya apa?Artinya seorang dokter sudah tak terhitung berapa kali ia diperingati tentang kematian. Dengan berbagai kematian orang lain yang kerap kali menghiasi harinya, sepatutnya seorang dokter sadar bahwa gilirannya pun akan tiba. Dan dengan peringatan yang kerap itu, sepatutnya seorang dokter menggambarkan sosok yang siap mati. Sosok yang begitu rindu akan berjumpa dengan Rabb-Nya. Sosok yang saat malaikat maut datang bukan berkata “Loh? Mengapa kamu datang sekarang?” bukan, bukan sosok yang seperti itu, tapi sosok yang saat malaikat maut datang ia berkata “Ah.. Akhirnya kamu datang juga..”

Terlepas dari profesi dokter, siapa pun kita sepatutnya menjadi sosok yang siap mati. Saat mendengar kabar duka hendaknya kita sadar bahwa giliran kita pun akan tiba. Entah sekarang, detik ini juga setelah membaca tulisan ini, atau nanti saat sudah beranjak dari depan laptop/komputer, atau bahkan tahun depan, atau sepuluh tahun lagi. Wallahu’alam. Itu adalah rahasia Allah Swt. Dan jangan sampai kematian itu datang saat ia mendapati kita tengah melakukan hal yang tidak berfaedah. Jadikan setiap detiknya ibadah sehingga saat kematian datang, kita meninggal dalam keadaan beribadah. Khusnul Khatimah.

Pelan dan lembut ruhnya tercabut, Meninggalkan jasad yang tengah bersujud.

Wallahu’alammubishawab.

Ayat-ayat Yang Ditakuti Oleh Ulama


Oleh Hartono Ahmad Jaiz*

Betapa kurang ajarnya tingkah pemuda Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah. Pemuda-pemuda bejat akhlaqnya itu menarik-narik kain seorang perempuan Muslimah yang sedang berjual beli dengan mereka. Betapa sadisnya kebiadaban Yahudi Bani Nadzir di Madinah yang ingin menjatuhkan batu besar ke diri Rasulullah, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam. Dan betapa liciknya pengkhianatan Yahudi Bani Quraiddhah yang mengadakan permufakatan rahasia dengan kafir Quraisy ketika perang Khandaq, di mana kaum muslimin dipimpin Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berada di dalam parit.

Bejatnya akhlaq, sadisnya tingkah dan liciknya hati busuk, semuanya telah mewabah pada darah daging mereka orang-orang Yahudi Bani Israel. Dan penyakit akhlaq yang sampai memuncak itu tentunya ada bibit-bibit penyakitnya. Bukan sekadar kuman akhlaq yang ringan, tetapi kuman yang berbahaya. Dan kuman itu tidak hanya sekali datang berlalu, namun sekali datang dan datang lagi, bahkan senantiasa diusahakan datang.

Apa itu?

أَكْلِهِمُ السُّحْتَ

“Aklihimus suht”. Makanan mereka haram.

Di dalam Al-Quran ditegaskan oleh Allah:

وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan engkau akan melihat kebanyakan dari mereka (orang Yahudi) berlomba-lomba dengan dosa dan permusuhan dan memakan yang haram. Sungguh buruklah apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Maidah [5] : 62)

Kenapa yang jadi bibit penyakitnya makanan haram?

Jelas. Mereka memiliki energi, tenaga untuk berbuat adalah karena makanan. Lantas, mereka berbuat aneka usaha, arahnya adalah mencari makan. Jadi makanan di sini ibarat terminal, tempat berangkat dan sekaligus tempat tujuan. Kalau makanan itu sudah jelas-jelas haram dan itulah yang menjadi pangkal mereka berbuat, maka kebaikan apa yang perlu mereka perjuangkan dengan modal makanan haram itu?

Tidak mungkin mereka memburu kebaikan dengan umpan yang dimiliki berupa modal makanan haram. Maka tidak mungkin pula mereka berhati-hati untuk memperhitungkan mana yang halal dan mana yang haram dalam memburu sasaran yang tak lain adalah makanan pula. Ibarat orang yang memang sudah memakai baju kotor untuk membengkel, mana mungkin ia menghitung-hitung mana tempat yang bersih dan mana yang kotor. Toh tempat yang bersih ataupun kotor sama saja, bahkan lebih perlu menyingkiri tempat yang bersih, karena nanti harus bertugas membersihkan tempat itu kalau kena kotoran dari bajunya.

Singkatnya, dengan modal bekal makanan haram, perbuatannya pun cenderung menempuh jalan haram, dan hasilnya pun barang haram, kemudian dimakanlah hasil yang haram itu untuk bekal berbuat yang haram lagi dan seterusnya.

Moral buruk dan makanan haram

لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“…..Sungguh buruklah apa yang mereka kerjakan!” Ini penegasan Allah Subhannahu wa Ta’ala.

Perbuatan mereka itu jelas dicap sebagai keburukan. Namun bukan sekadar mandeg/berhenti sampai perbuatan mereka itu saja sirkulasinya. Tidak. Dalam contoh kasus ini, yang berusaha mencari makanan haram tentunya adalah orang tua, penanggung jawab keluarga. Tetapi yang memakan hasilnya, makanan haram, berarti seluruh keluarga yang ditanggung oleh pencari harta haram itu. Dan ternyata, betapa bejatnya akhlaq/moral pemuda-pemuda alias anak-anak mereka yang diberi makan dengan makanan haram itu. Pemuda-pemuda itu sampai begitu lancangnya, menarik-narik kain perempuan Muslimah di pasar saat berjual beli.

Mungkinkah pemuda-pemuda tersebut sebejat itu kalau mereka ditumbuhkan dengan makanan halal, mereka lihat orang tuanya shaleh, lingkungannya baik-baik dan terjalin ukhuwah/persaudaraan dengan baik? Sebaliknya, mungkinkah dengan modal makanan haram itu orang tua menunjukkan “baiknya” perbuatan jahat mereka (yang sudah ketahuan memburu barang haram), menampakkan ketulusan hati (yang sudah ketahuan rakus terhadap barang haram) dan menasihati dengan amalan baik-baik (sedang dirinya jelas melanggar)?

Tidak mungkin. Maka tumbuh dengan suburlah generasi penerus mereka itu dengan pupuk-pupuk serba haram dan jahat. Itulah.

Orang alim agama ada yang lebih parah

Sikap seperti itu sungguh parah. Tetapi, masih ada yang lebih parah. Karena yang lebih parah ini bahkan menyangkut orang-orang pandai dan pemuka agama, maka Allah Subhannahu wa Ta’ala mengecamnya cukup diawali dengan bentuk pertanyaan.

لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ [المائدة : 63]

“Mengapa orang-orang alim mereka, dan pendeta-pendeta mereka (Yahudi) tidak melarang mereka mengucapkan perkataan dosa dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah [5] : 63).

Kita dalam hal diamnya para alim dan pemuka agama di kalangan Yahudi itu bisa juga menduga-duga kenapa mereka tidak mencegah perkataan dosa dan makan haram. Dugaan itu akan membuat perasaan bergetar, kalau sampai mereka yang alim dan pemuka agama di kalangan Yahudi itu bahkan antri ikut makan haram.

Maka ayat tersebut, bagi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalam yang ahli tafsir Al-Quran) adalah celaan yang paling keras terhadap ulama yang melalaikan tugas mereka dalam menyampaikan da’wah tentang larangan-larangan dan kejahatan-kejahatan. Bahkan Ad-Dhohhaak berkata, tidak ada ayat dalam Al-Quran yang lebih aku takuti daripada ayat ini.

Tidak kurang dari itu, bahkan cercaan Allah itu lebih penting untuk disadari oleh ulama Islam, bukan sekadar cerita cercaan terhadap pendeta-pendeta Yahudi.

*Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku Pangkal Kekeliruan Golongan Sesat.

Istiqamah


Oleh Dian Saputra

Suatu hari dalam wawancara di perusahaan multinasional, pada saat setelah wisuda bachelor degree. “Kenapa kamu memilih penampilan seperti ini?” tanya sang pewawancara kepada seorang fresh graduate yang mengenakan pakaian gamis panjang, berjenggot panjang dan peci selalu menempel di kepala.

“Karena saya cinta kepada Rasul saya,” jawabnya singkat.

“Saya akan memberi kamu pekerjaan dengan gaji 3.000 Dollar perbulan jika kamu mau mengubah penampilan kamu,” tantang si pewawancara.

Dengan santai sang pelamar menjawab, “Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti test wawancara ini,” dengan tenang langkah santai dia keluar ruangan wawancara.

Beberapa jam sebelum wawancara di sebuah bus stop depan asrama. Sang Abang, yang kebetulan juga senior aku di sekolah asrama di Jawa Tengah dulu, berkata, “Do’ain Abang ya, mau wawancara nih.”

Waktu itu saya benar-benar kaget, karena latar belakang saya adalah hedonisme, saya langsung bilang, “Please lah Bro, gila aja Abang memilih penampilan seperti ini, bisa-bisa bukannya dapat kerjaan, malah dikira teroris kali.”

Dengan senyum di bibirnya dia menjawab, “Insya Allah, Allah memudahkan.”

Beberapa hari setelah hari wawancara, sang abang menemui saya di Mushala, sambil berkata, “Lagi bingung nih”. Saya dengan santai menjawab, “Ada apa? Dituduh teroris saat wawancara?”

Dengan nada lebih santai dia menjawab, “Alhamdulillah, justru aku bingung harus pilih yang mana, ada beberapa perusahaan multinasional menerima aku, dan professor pembimbing skripsiku juga menawarkan tempat untuk melanjutkan belajar langsung ke jenjang S3.”

Waaakkksss…

“Kuya lu, itu mah masalah yang membahagiakan, bukannya aplikasi program master by research juga diterima?” timpalku, “Alhamdulillah…” jawab dia dengan senyum khasnya. “Kapan makan-makan?” permintaanku pada sang abang. “Insya Allah,” jawab dia.

Sebulan kemudian kami baru bertemu lagi, karena aku mudik ke Indonesia selama liburan semester. Kita janjian di sebuah hawker center di seberang komplek universitas.

“Dua nasi ayam,” kataku pada penjual nasi ayam.

“Minum?” kataku.

“Gah ah, abis gelasnya bekas dipake buat minum bir sih,” jawab dia sambil menunjuk gelas bergambar lambang minuman bir.

“Lah kan dah disucikan make air, airkan mensucikan,” debatku sok pintar.

“Ya udah, aku beli teh hijau kaleng ya,” jawab dia menyudahi perdebatan itu.

Dasar senior aneh, dia tetep tidak memakai gelasnya, dia langsung minum dari kalengnya. “Cape deeehhh…”

“Gimana Bro, jadinya pilih yang mana?” tanyaku penasaran.

“Alhamdulillah, aku pilih melanjutkan belajar di bawah bimbingan professorku,” jawab dia.

“Gila bettt, Abang tidak mau memilih kerjaan yang menawarakan 3.000 Dollar perbulan itu?”

Jawab dia, “Imanku belum siap untuk mendapatkan ujian itu.”

“Cape deeehhh…” sahutku.

Dia melanjutkan ceritanya, “Aku ada cerita buat kamu, temen kita sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan. Yang menarik dari cerita ini, saat wawancara, dia juga menerima tantangan seperti yang aku dapat. Kalo dia mau mencukur jenggotnya, besok datang untuk wawancara terakhir dan lebih dari 3.000 Dollar gaji perbulan bisa dia dapatkan. Mungkin karena dia kurang istiqamah menjalani sunnah yang satu ini, akhirnya dia mencukur jenggot yang telah dia pelihara sejak tingkat satu. Dan apa yang terjadi?”

“Apa?” timpalku sambil tetap menikmati ayam goreng di meja.

“Pada hari berikutnya sang pewawancara berkata, ‘Sungguh picik pemikiran kamu. Kalau masalah agama yang paling mendasar di kehidupan kamu saja kamu kalahkan hanya demi 3.000 Dollar perbulan, lalu apa yang akan terjadi dengan perusahaan saya’.”

“Lho… ” jawabku sambil melongo.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Penampilan sang Abang tetep seperti itu, tak berubah sedikitpun. Aku salut atas istiqamah dia menjalankan sunnah Rasul.

Beberapa tahun kemudian di tempat yang sama, warung nasi ayam, “Bang, kumpeniku butuh domain expert di bidang expertise yang Abang dalami, aku bisa gaji abang $100 perjam sebagai domain expert consultant,” tawarku.

“Or gaji $5.000 perbulan sebagai full time consultant kalo mau cukur itu jenggot,” candaku.

Seperti biasa dia bisa menjawab, “Sejak kapan junior berhak memerintah senior, gini aja, aku bisa bantu kalian untuk mendapatkan pahala, angkat aku jadi CEO di kumpeni kamu, ntar semua profit dari tiap-tiap project akan aku sumbangkan buat masjid-masjid yang masih punya banyak utang kepada bank pemerintah. Gimana?”

“Cape deeehhh…”

“Bang, kapan nikah, sudah dapat kerja yang Alhamdulillah enak, sudah dapat gelar master. Banyak tuh junior-junior kita yang pasti akan menerima Abang kalo Abang mau.”

Dengan ringan sambil bercanda dia menjawab, “Wah, aku ga mau nikah dengan cewek yang kenal dengan kamu.”

“Cape deeehhh…” sahutku.

Alhamdulillah, Allah telah mengantarkan jodoh sesuai dengan yang dia inginkan. Alhamdulillah lagi terakhir dia contact aku, dia berkata, “Do’ain aku nyusul kamu jadi bapak, Isteri dah isi 3 bulan”.

“Gila, akurat juga dikau, bukannya nikahnya juga baru 3 bulan yang lalu?” candaku.

“Cape banget deeehhh…” jawabnya santai.

Ya Allah, aku bersyukur Engkau telah pertemukan hambaMu dengan makhluk yang satu ini, kuatkanlah iman dia untuk istiqamah menjalaninya. (Abu Shafiyya)
http://www.eramuslim.com/oase-iman/istiqamah.htm